Perundungan atau bullying pada anak sepertinya tak pernah reda. Masih teringat tema pada Hari Anak Nasional yang jatuh pada 23 Juli lalu, yaitu, Anak Terlindungi, Indonesia Maju. Hal itu tentu memotivasi kita untuk bisa mewujudkannya. Anak

Tapi, bullying pada anak di Indonesia meningkat (Kompas.id). Pada Juli lalu, saya sempat mendengarkan sebuah talk show di radio Suara Surabaya yang membahas soal bullying pada anak. Untuk mengatasi itu, banyak pendengar yang mengomentari bahwa anak harus diberikan sebuah edukasi, bahwa jangan terima kalau di-bully oleh teman. Kalau dipukul, balas pukul. Kalau diejek, jangan diam saja. Hal itu diajarkan dengan gamblang kepada sang anak oleh orang tua. Bahkan, lebih ekstrem lagi, jangan gampang memaafkan. Jadi, intinya, jangan jadi anak yang lemah.

Saya jadi berpikir, apakah orang tua harus mengajarkan atau memberikan pemahaman yang sedemikian keras agar anak tidak lemah dan tidak disakiti temannya.

Bukankah kita sering diajarkan untuk saling memaafkan, mengasihi, jangan membalas kalau disakiti. Apakah itu masih berlaku untuk mendidik anak-anak kita?

Saya juga berpikir lagi apakah bullying hanya terjadi ketika si anak bersama teman-temannya?

Rasanya, tak perlu jauh-jauh kita melihat. Bullying pada anak banyak dilakukan juga oleh orang tua kepada anaknya. Secara tidak sadar, kita mungkin pernah membandingkan anak dengan temannya atau saudara yang lebih hebat dan lebih berprestasi.

Pernah juga menemukan orang tua yang mengancam anak. Misalnya, kalau nilaimu jelek, uang saku dipotong. Atau sejenisnya. Misalnya, membentak anak karena tidak mau diam. Menyuruh diam saat anak mempunyai banyak pertanyaan.

Atau orang tua yang memaksakan kehendak kepada anaknya. Misalnya, diikutkan les piano, padahal anaknya suka menggambar. Dipaksa les matematika, padahal anaknya lebih gemar belajar menari.

Belum lagi kasus tertentu, pelecehan seksual atau kekerasan dalam rumah tangga dilakukan orang tua kepada anak kandung.

Lantas, Apa yang Harus Kita Lakukan?

Pertama, sebagai orang tua, kita harus introspeksi diri. Anak adalah copy paste dari orang tua. Anak akan belajar dari orang tua. Anak yang menjadi perundung, bisa jadi diperlakukan demikian oleh orang tua. Kita yang menyadari hal itu, ada baiknya memberikan pencerahan kepada sang anak, memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana kita bijaksana berkomunikasi dengan anak. Paling tidak, kita tunjukkan sikap demokratis kepada anak.

Kedua, mengajak anak-anak berkesenian. Pada dasarnya, setiap anak suka dengan hal-hal yang bersentuhan dengan seni. Seni musik, seni tari, seni gambar, atau kesenian lain. Saya melihat melalui seni, kita lebih bisa menghargai orang lain, mencintai kedamaian, berkolaborasi dengan sesamanya, dan melatih kepercayaan diri.

Hal tersebut juga dapat dijumpati dalam kegiatan berolahraga. Di mana mereka terbiasa menjaga sportivitas. Selain itu, dalam tubuh yang sehat, jaringan otak akan bekerja dengan optimal sehingga membantu kita untuk berpikir sehat pula.

Ketiga, memperkaya anak dengan pendidikan karakter. Bagaimana dia melihat mana yang baik dan buruk. Serta, bagaimana sikap anak memperlakukan orang lain. Sekalipun dia dalam kondisi tertekan.

Keempat, tentu saja sebagai orang tua, kita pun perlu peduli. Jika kita melihat ada perundungan di mana pun dan terjadi pada siapa pun, wajib hukumnya kita mencegahnya.

Menghindari Perundungan

Melansir tulisan dari Kristi Poerwandari, pelaku perundungan senang jika menemukan orang yang terlihat rentan, lemah, bingung, kikuk, dan tidak percaya diri. Apabila korban diam saja atau terlihat ketakutan, mereka makin senang dan kelakuannya makin menjadi-jadi.

Jadi, sebaiknya tidak menunjukkan kerentanan, tetapi mengesankan sikap percaya diri. Bagaimana caranya? Dengan berdiri dan berjalan tegak, berkontak mata, bicara tenang, dan mengobrol dengan santai saja.

Orang akan lebih mudah melakukan perundungan ketika kita sendiri. Jadi, akan baik untuk belajar menjalin pertemanan dan saling memberi dukungan dengan teman lain serta beraktivitas bersama orang lain.

Apabila perundungan tetap terjadi, bersikaplah tenang dan hadapilah dengan tegak. Tetap tunjukkan kepercayaan diri. Tatap mata pelaku, katakan dengan jelas dan tenang. Misalnya,  ”stop, cukup”, ”jangan lakukan itu”,  atau ”jangan ganggu saya”. Apabila dia terus saja mengganggu, tetap tunjukkan sikap tenang dan tinggalkan lokasi dengan tegak.

Pada akhirnya, apabila orang lain terus mengganggu, jangan biarkan mereka menghancurkan kehidupan kita. Mintalah bantuan pihak yang dapat dipercaya, laporkan kepada pihak otoritas (di sekolah atau di tempat kerja), dan jangan menyalahkan diri atas apa yang terjadi.

Semoga, perundungan pada anak tidak lagi terjadi. Anak Terlindungi, Indonesia Maju. (*)